Makelar kasus (Markus) menjadi cukup lazim dalam praktik hukum di Indonesia. Istilah ini hampir ada di seluruh lembaga penegak hukum di Indonesia. Tak terkecuali Markus juga menjamah di tubuh KPK. Kini, momentumnya membombardir Markus di KPK. Selain, tentunya di Kepolisian dan Kejaksaan.
Makelar kasus di tubuh polri dan kejaksaan jamak dimaklumi publik. Yang monumental dan terkuak ke publik yaitu Artalyta Suryani yang tertangkap basah menyuap Jaksa Urip Tri Gunawan sebesar US$ 660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar yang diduga terkait kasus BLBI I.
Kini kisruh kasus Chandra-Bibit juga tak terlepas munculnya makelar kasus (Markus) yaitu Ari Muladi dan Edi Soemarsono dalam dugaan suap yang dilakukan Anggoro Widjojo terkait kasus korupsi PT Masaro Radiokom.
Pihak Chandra-Bibit membantah adanya suap, namun polisi kekekuh memiliki bukti kedua pimpinan KPK (non aktif) tersebut menerima suap. “Bagi kami berdua, yang terpenting adalah membuktikan kepada tim 8 bahwa saya dan Bibit tidak menyalahgunakan kewenangan sebagaimana dituduhkan juga tidak melakukan pemerasan,” ujar Chandra M Hamzah usai diperiksa Tim 8 di Gedung Wantimpres, Jakarta.
Namun di pihak lain, kepolisian memiliki kepercayaan tinggi bahwa Chandra-Bibit telah menyalahgunakan wewenang dan melakukan pemerasan dalam kasus Djoko Tjandra dan Anggoro Widjojo.
Seperti pernyataan Kapolri Bambang Hendarso Danuri seusai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III yang menyebutkan Ari Muladi, perantara uang dari Anggodo Widjojo kepada pimpinan KPK, sebanyak enam kali menyambangi KPK. “Dia datang ke KPK sebanyak enam kali,” ujarnya. Kedatangan Ari ke KPK seperti menepis kesaksian Ari yang mengaku tidak mengenal pimpinan KPK.
Terkait dengan kesaksian Ari Muladi yang mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP), yang mulanya disebutkan uang diberikan ke pimpinan KPK namun kemudian dikoreksi dan diberikan ke pengusaha asal Surabaya Yulianto, Kapolri juga membantahnya. “Dana mengalir langsung disampaikan dan tidak pernah ada pencabutan BAP. Dia (Ari) tetap menyebutkan X. Kami gunakan tes kebohongan, dari tes itu menyatakan bahwa keterangan yang pertamalah yang benar,” jelas Bambang.
Sebagaimana dimaklumi, pada awal penyelidikan kasus Chandra-Bibit, Ari Muladi mengaku telah memberikan sejumlah uang kepada pimpinan KPK, termasuk Chandra dan Bibit. Pengakuan itu dituangkan dalam dokumen kronologis kasus Chandra-Bibit tertanggal 15 Juli lalu. Namun di di tengah penyidikan pada 26 Agustus Ari mencabut keterangan semula.
Terkait dengan kasus Chadra-Bibit ini, Tim 8 menemukan terdapat oknum KPK yang turut bermain dalam kasus ini. Oknum ini diduga kuat bermain dalam pembusukan di internal KPK. “Memang ada oknum-oknum yang berimplikasi pada terjadinya pembusukan. Baik dalam rumah KPK, Jaksa, dan Polri,” ujar anggota Tim 8, Komarudin Hidayat. Terkait dengan oknum KPK, Rektor UIN memberi petunjuk, oknum tersebut berada di bawah level pimpinan KPK.
Kisruh kasus Chandra-Bibit ini memang sepatutnya menjadi momentum bagi bangsa ini untuk membersihkan mafia hukum baik di kepolisian, kejaksaan maupun KPK. Karena, dalam beberapa hari terakhir konsentrasi publik tertuju pada Kejaksaan dan Kepolisian. Padahal, di tubuh KPK tak bisa dipungkiri patut diduga berpotensi terjadinya makelar kasus.
Sosok seperti Ari Muladi atau Edi Soemarsono bisa saja berprofesi sebagai makelar kasus di KPK yang memiliki akses ke petinggi KPK. Sulit untuk menalar, jika Ari Muladi hanya mengaku-ngaku sebagai orang dekat KPK, namun tak memiliki akses atau setidaknya kenalan dekat di KPK. Saatnya pimpinan KPK mereformasi internalnya. Jangan sampai KPK menerapkan pribahasa ‘Gajah di depan mata tak terlihat, semut di sebarang lautan terlihat’.
Sumber : rahim.student.umm.ac.id